Komunikasi interpersonal :POLITENESS THEORY
Kamis, Desember 06, 2018
Dikembangkan oleh Brown dan Levinson (1978, 1987),
teori kesantunan atau Politeness Theory
(PT) menjelaskan bagaimana
kita mengelola identitas
kita sendiri dan orang
lain melalui interaksi, khususnya, melalui penggunaan
strategi kesantunan.
Menurut Brown dan Levinson (1987), yang mana terinspirasi
oleh Goffman (1967), bahwasanya bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada
“wajah” atau “muka,” baik milik penutur, maupun milik mitra tutur. “Wajah,”
dalam hal, ini bukan dalam arti rupa fisik, namun “wajah” dalam artian public
image, atau mungkin padanan kata yang tepat adalah “harga diri” dalam
pandangan masyarakat.
Jika Goffman
(1967) menyebutkan bahwa wajah adalah atribut sosial, maka Brown dan Levinson
(1987) menyebutkan bahwa wajah merupakan atribut pribadi yang dimiliki oleh
setiap insan dan bersifat universal.
Asumsi
Tiga asumsi dasar panduan teori
kesantunan. Pertama, PT mengasumsikan bahwa semua individu perlu untuk mengatur mimik wajah
mereka (Brown & Levinson,
1978, 1987). Sederhananya,
wajah mengacu pada
citra diri yang
dikehendaki; juga termasuk
pengakuan bahwa mitra interaksional Anda memiliki
kebutuhan mimik wajah bagaimana
yang mereka harapkan. Ada dua dimensi
mengenai konsep wajah:
wajah positif dan
wajah negatif.
Wajah Positif mencakup kebutuhan seseorang
untuk disukai, dihargai, dan dikagumi oleh orang
lain. Wajah positif berkaitan dengan nilai-nilai keakraban antara
penutur dan mitra tutur. Wajah negatif mengasumsikan
keinginan seseorang untuk bertindak bebas, tanpa kendala atau memposisikan diri
sebagai orang lain. Berbeda
dengan wajah positif, yang mana penutur dan mitra tutur mengharapkan terjaganya
nilai-nilai keakraban, ketakformalan, kesekoncoan, maka wajah negatif ini
dimana penutur dan mitra tutur mengharapkan adanya jarak sosial. Yang jelas, sulit untuk mencapai wajah positif
dan negatif secara bersamaan, karena keduanya saling bertolak belakang.
Kedua,
teori kesopanan mengasumsikan bahwa manusia rasional dan berorientasi tujuan,
mereka menghormati dan menghargai kebutuhan mimik wajah (Brown & Levinson,
1978, 1987). Dengan kata
lain, Anda memiliki pilihan dan membuat keputusan komunikatif untuk secara
relasional dan berorientasi tujuan dalam
konteks menjaga wajah. Brown dan Levinson mengemukakan bahwa manajemen wajah
terbaik ketika semua orang terlibat membantu untuk menjaga wajah orang lain.
Asumsi terakhir, PT
berpendapat bahwa beberapa perilaku wajah secara fundamental dapat ‘mengancam’
(Brown & Levinson, 1978, 1987). Wajah ‘mengancam’ ini meliputi perilaku
umum seperti permintaan maaf, pujian, kritik, permintaan, dan ancaman (Craig,
Tracy, & Spisak, 1993).
Kesantunan (dan
kesopanan) berbahasa dapat diartikan sebagai sebuah penunjukan mengenai
kesadaran terhadap wajah orang lain (Yule, 2006:104). Wajah seseorang akan mengalami
ancaman ketika seorang penutur menyatakan sesuatu yang mengandung ancaman
terhadap harapan-harapan individu yang berkenaan dengan nama baiknya sendiri
(hal.106).
Pengancaman wajah melalui tindak tutur
(speech act) akan terjadi jikalau penutur dan mitra tutur sama-sama tidak
berbahasa sesuai dengan jarak sosial. Perhatikan contoh berikut ini, dimana
terjadi interaksi antara tetangga yang berusia sudah tua dan yang masih muda:
Tua: He… so malam deng apa kong baribut
sampe, tarada rumah ka? (Heh… ini kan
sudah malam, kok ribut banget? Tidak ada rumah ya?)
Muda: Saya,
om. Maaf lagi… (Saya, om. Kami minta maaf).
Dalam konteks
interaksi seperti di atas, penutur tua melakukan pengancaman wajah dengan
mengatakan “tidak ada rumah ya?” ini disebut pengancaman wajah karena jarak
sosial (usia dan mungkin juga jarak keakraban) antara mereka jauh. Bahkan, hal
ini bukan hanya mengancam wajah mitra tutur muda, bahkan wajah penutur tua itu
sendiri. Hal ini disebabkan oleh jatuhnya “harga diri” sosial dengan menggunakan
pernyataan yang kasar.
Respon dari mitra
tutur muda merupakan tindak penyelamatan wajah (face saving act); yaitu dengan
cara melakukan kesantunan negatif dengan mengeluarkan pernyataan yang
menunjukkan kesadaran atas jarak sosial dan wajah negatif penutur tua. Artinya,
mitra tutur muda menyadari keinginan wajah penutur tua untuk merdeka dan
memiliki hak untuk tidak terganggu.
0 Comments