Teori Pengharapan Nilai (The Expectacy-Value Theory)
Kamis, Desember 06, 2018
Teori Pengharapan Nilai (The Expectacy-Value
Theory)
Teori yang akan dibahas
adalah value-expectancy theory, sebuah teori yang dikembangkan oleh
psikolog terkemuka, Martin Fishbein dan Icek Ajzen pada awal tahun 1970-an.
Sejarah Teori
Teori nilai harapan (value-expectancy
theory) dikemukakan oleh Dr. Martin Fishbein pada awal tahun 1970-an. Teori
ini pertama kali dijelaskan dalam buku Martin Fishbein dan Icek Ijzen tahun
1975 yaitu Belief, Attitude, Intention, and Behaviour: An Introduction
to Theory and Research. Penelitian teori ini juga dapat dilihati dalam
disertasi Fishbein yakni A Theoretical and Empirical Investigation of
the Interrelation between Belief about an Object and the Attitude toward that
Object (1961, UCLA). Teori ini juga dijelaskan dalam dua artikel
lainnya tahun 1962 dan 1963 dalam jurnal Human Relations.
Penelitian Fishbein dituliskan oleh peneliti lain seperti Ward Edwards, Milton
Rosenberg, dan John B. Watson.
Dr. Martin Fishbein adalah
seorang Profesor Kehormatan dari Harry C. Coles Jr. di jurusan Komunikasi
Annenberg School for Communication dan Direktur Health Communication
Program (Program Komunikasi Kesehatan) di Annenberg Public Policy
Center. Di samping value-expectancy theory, beliau juga
penggagas theory of reasoned action. Dr. Fishbein menerbitkan 200
artikel dan bab dalam buku profesionan dan jurnal, serta mengarang dan mengedit
enam buku.
Penelitian Dr. Fishbein
terdiri dari teori sikap dan tindakan, komunikasi dan persuasi, prediksi dan
perubahan tingkah laku. Ia meneliti di lapangan dan laboratorium terdiri dari
penelitian terhadap keefektifan dari tingkah laku kesehatan. Beliau adalah
pimpinan Society Consumer Psychology and the Interamerican Psychological
Society.
Value-expectancy
theory adalah salah satu teori tentang komunikasi
massa yang meneliti pengaruh penggunaan media oleh pemirsanya dilihat dari
kepentingan penggunanya. Teori ini mengemukakan bahwa sikap seseorang terhadap
segmen-segmen media ditentukan oleh nilai yang mereka anut dan evaluasi mereka
tentang media tersebut.
Teori ini merupakan
tambahan penjelasan dari teori atau pendekatan “uses and gratifications”
adalah dijelaskannya teori yang mendasarkan diri pada orientasi khalayak
sendiri sesuai dengan kepercayaan dan penilaiannya atau evaluasinya.Intinya,
sikap kita terhadap sejumlah media akan ditentukan oleh kepercayaan tentang
penilaian kita terhadap media tersebut. (Palmgreen dkk. dalam Littlejohn,
1996:345) membatasigratification sought (pencarian kepuasan)
berkaitan dengan apa yang diberikan media serta evaluasi kita terhadap isi
media tersebut. Jika kita percaya bahwa film India dapat memberikan hiburan
terhadap kita, dan kita menilai hiburan tersebut termasuk bagus (misalnya
bersifat edukatif), maka kita akan mencari kepuasan dengan menonton film India
tersebut sebagai hiburan. Itu contohnya. Juga sebaliknya, jika kita menilai
film India sebaliknya dari itu, maka kita tidak akan menontonnya.
Film-film telenovela dari
Amerika Latin yang sekarang banyak ditayangkan oleh televisi swasta, banyak
disukai oleh kaum hawa, terutama ibu-ibu rumah tangga. Itu sebuah fenomena.
Dari fenomena tersebut, bisa diguga bahwa kaum hawa menilai positif kehadiran
film-film tersebut. Padahal jika kita menilik alur ceritanya, banyak peristiwa
budaya yang sama sekali tidak rasional dan bahkan sangat bertentangan dengan
pola budaya di Indonesia. Dilihat dari aspek rasionalitas ceritanya juga sangat
banyak yang aneh-aneh atau ganjil. Dramatisasinya sangat bertele-tele, dsb.
Namun demikian, toh kaum hawa masih tetap menyukainya. Mungkin sebagian dari
kita kaum laki-laki juga banyak yang menyukainya. Tampaknya masalah hiburan
tidak selalu mempertimbangkan aspek rasionalitas dan logika cerita.
Contoh lain, bila kita
percaya bahwa segmen gosip akan menghadirkan hiburan bagi kita, dan kita senang
dihibur, maka kita akan memenuhi kepentingan kita dengan menonton/mendengar/
membaca acara gosip. Di pihak lain bila kita percaya bahwa bergosip itu
termasuk bergunjing dan melihatnya sebagai hal yang negatif, dan kita tidak
menyukainya, kita akan menghindar diri dari menonton/ mendengar/ membacanya.
Klandersman dalam value-expectancy
theory nya menyatakan bahwa perilaku seseorang merupakan fungsi nilai
(value) dari hasil yang diharapkan dari sebuah perbuatan. "Individual's
behavior is a function of the value of expected outcomes of behavior"
(Klandersman,1997,h.26). Perilaku seseorang akan menghasilkan sesuatu, semakin
tinggi nilai yang diharapkan, semakin tinggi pula keinginan untuk mewujudkan
perilaku tertentu.
Teori ini mengandung dua
komponen yaitu nilai (value) dari tujuan yang akan dicapai dan harapan (expectancy)
agar berhasil mencapai tujuan itu. Dari dua komponen tersebut oleh Keller
dikembangkan menjadi empat komponen. Keempat komponen model pembelajaran itu
adalah attention, relevance, confidence dan satisfaction dengan
akronim ARCS (Keller dan Kopp, 1987: 289-319). Model pembelajaran ini menarik
karena dikembangkan atas dasar teori-teori belajar dan pengalaman nyata para
instruktur (Bohlin, 1987: 11-14).
Value-expectation theory memiliki tiga
komponen dasar yakni:
1. Individu
merespon informasi baru tentang suatu hal atau tindakan dengan menghasilkan
suatu keyakinan dari hal atau tindakan tersebut. Bila keyakinan sudah
terbentuk, itu dapat dan seringkali berubah dengan informasi baru.
2. Setiap
individu memberikan sebuah nilai (value) pada setiap sifat di mana
keyakinan tersebut tergantung/berdasar.
3. Sebuah
harapan (expectation) terbentuk atau termodifikasi berdasarkan hasil
perhitungan antara keyakinan (beliefs) dan nilai-nilai (values)
Sebagai contoh, seorang
mahasiswa menemukan bahwa seorang profesor memiliki sifat humoris. Mahasiswa
tersebut memberikan nilai positif pada humor di kelas, jadi mahasiswa tersebut
memiliki harapan bahwa pengalamannya dengan profesor akan positif. Ketika
mahasiswa menghadiri kelas dan menemukan sang profesor humoris, mahasiswa
tersebut akan memperhitungkan bahwa itu adalah kelas yang baik.
Fishbein dan Azjen (1975)
memberikan persamaan untuk teori ini sebagai berikut:
Philip Palmgreen memodernisasikan teori ini dengan
rumus sebagai berikut:
Gsi = ∑biei
Keterangan:
Gsi = gratification sought (pencarian
kepuasan)
bi = belief (keyakinan)
ei = evaluation (evaluasi)
Penggunaan: Ketika memperoleh
pengalaman dengan suatu media, kepuasan yang diperoleh akan memengaruhi
keyakinan, menguatkan pola yang terlihat.(Philip Palmgreen)
Salah satu kegunaan value-expectancy
theory adalah dalam pendekatan persuasi (persuasion approaches).
Berdasarkan teori ini kita mengharapkan sesuatu untuk mengontrol sikap kita
(e.g. Fishbein & Ajzen, 1975; Rosenberg, 1956). Memengaruhi seseorang
meliputi mengubah nilai yang mereka harapkan untuk diterima. Sebagai contoh,
jika kita mengharapkan hasil yang baik dari pendapat namun seseorang meyakinkan
kita bahwa pendapat tersebut tidak bagus, maka kita akan mengubah isi dari
pendapat tersebut.
Ada dua penjelasan utama mengapa seseorang mengubah
pendiriannya.
Konsistensi
Afektif-Kognitif (Affective-Cognitive Consistency). Teori ini
menyatakan bahwa pengaruh dan kesadaran kita mengenai suatu hal terdiri dari
dua aspek. Affectmeliputi sikap kita, bagaimana suatu hal terasa
menyenangkan. Cognitions kepercayaan yang berhubungan dengan
objek. Jika kita percaya konsekuensi yang baik akan didapat dari pendapat, kita
akan memakai pendapat itu. Affective-Cognitive Consistency menjelaskan
hukum sikap kognitif: jika kita mengubah kepercayaan seseorang tentang
pendapat, sikapnya akan berubah secara otomatis dalam kesamaan tujuan dan
tingkat sesuai dengan perubahan keyakinan. Sebagai contoh, kita dihadapkan pada
pilihan bahwa mendapat nilai yang tinggi akan lebih sulit saat ujian akhir,
kita akan mengubah kebijakan saat ujian dan lebih konsentrasi pada tugas.
Sebaliknya jika kita yakin ujian berarti nilai rendah dan banyak tekanan kita
akan bersikap sebaliknya.
Konsistensi kognitif tidak
hanya mengubah keyakinan untuk menghasilkan perubahan pada sikap, tetapi juga
menyebabkan perubahan sikap-sikap untuk menuntun perubahan keyakinan. Rosenberg
(1960) membuat sebuah penelitian untuk menguji ide ini. Ia menghipnotis orang
dan mengubah sikap mereka. Dia menemukan bahwa ketika sikap berubah dari senang
menjadi tidak senang, individu akan memproses untuk mengubah keyakinan tentang
suatu program dari baik ke buruk. Mereka melakukannya dengan lengkap. Tak ada
orang yang mengatakan,”Program ini akan menghasilkan efek buruk “ Penelitian
ini menunjukkan bukti meyakinkan bahwa kita mencoba untuk membuat perasaan dan
keyakinan kita tentang suatu hal tetap konsisten.
Penelitian lain menemukan
bahwa ketika seseorang mengajukan pendapat dan pembicara meyakinkan bahwa ada
banyak konsekuensi buruk dari pendapat, individu akan mulai yakin bahwa
konsekuensi baik akan terjadi sedikit, kita tak ragu bahwa hal tersebut akan
menghasilkan hal baik dari hubungan sebelumnya. Penelitian juga menunjukkan
menyetujui konsekuensi baik tidak sama dan tidak seefektif menyetujui
konsekuensi buruk. Faktanya, pendengar menyukai pembicara yang mengatakan
konsekuensi baik. Strategi dasar dalam persuasi adalah dengan meyakinkan
seseorang bahwa pemikiran mereka tidak berhubungan dengan pendapat. Sebagai
contoh orang tidak pernah berpikir bahwa ketika mereka mengevalusi hasil ujian
itu akan menambah stress. Orang jarang berpikir mereka salah. Mereka cenderung
mengubah keyakinan mereka sendiri setelah menemukan hasil buruk dari pendapat.
Pernyataan bahwa hasil lebih tinggi tak akan diperoleh dari sistem baru akan
kurang efektif dibandingkan memberikan ide bahwa ujian tengah semester akan
lebih berat.
Ide yang sama dapat
diterapkan pada seseorang yang ingin meyakinkan penerima pendapat. Penerima
yakin konsekuensi buruk akan timbul. Di lain pihak pembicara yakin akan timbul
konsekuensi baik. Di sini terjadi dua pendapat yang berbeda. Akan menjadi lebih
baik untuk memberikan si penerima dengan fakta-fakta tentang konsekuensi baik
dan membiarkan dia menerima banyak tekanan dan kemungkinan buruk. Dibandingkan
dengan meyakinkan penerima bahwa tekanan tinggi tidak akan berhasil mengubah nilai
ujian, pembicara harus menekankan bahwa akan terjadi hasil baik. Tentu saja
orang tersebut tak perlu bertanya langsung tentang kemungkinan konsekuensi
buruk. Apa yang kita katakan belum tentu strategi baik bagi pendapat
sukarelawan yang menyayangkan keyakinan penerima. Dengan membiarkan sendiri si
penerima mengubah keyakinannya, sebenarnya pembicara telah mengajak dalam
pesan. Penerima bebas untuk tidak berbicara atau menyatakan secara tidak
langsung (Infante 1975c).
Teori Pembelajaran (Learning Theory).
Ini merupakan penjelasan kedua untuk persuasi dalam kerangka value-expectancy.
Ide di sini ialah kita mempelajari untuk menghubungkan konsekuensi dengan
pendapat, karakteristik seseorang, perlengkapan dengan objek (Cronkhite, 1969).
Perasaan mendatangkan dengan sebuah konsekuensi menjadi terhubungkan dengan
pendapat tersebut. Pendapat tersebut dapat diidentifikasi dalam berbagai emosi.
Menyebutkan pendapat akan menimbulkan emosi yang luar biasa. Empat konsekuensi
– hasil yang lebih rendah, lebih banyak tekanan, lebih banyak ujian akhir, dan
sedikit kesempatan untuk meraih nilai rata-rata – dapat dikondisikan pada
pendapat kita untuk mengubah kebijakan pada ujian akhir. Sikap penerima akan
mewakili total dari perasaan negatif dari empat konsekuensi. Ide ini timbul
dari kondisi klasik dalam psikologi. Dalam percobaan Pavlov, seekor anjing
datang menanggapi bel bersamaan saat ia menanggapi bubuk daging di mulutnya, ia
pun mengeluarkan air liur. Menanggapi bubuk daging yang terhubung pada bel
dengan menempatkan bubuk di mulut anjing dengan segera setelah membunyikan bel.
Beberapa saat kemudian, anjing tersebut mengeluarkan air liur sebagai tanggapan
terhadap bel. Tak bisa dipungkiri bahwa proses ini mirip persuasi.
Dalam iklan konsekuensi
terdiri dari pendapat dalam harapan terhadap reaksi orang-orang akan
terkondisikan pada pendapat tersebut. Jika tercipta kondisi yang sukses,
pendapat tersebut akan menghasilkan reaksi khalayak yang akan sama dengan
reaksi mereka untuk menghubungkan elemen-elemen. Menyebutkan sebuah perubahan
dalam kebijakan menghadapi ujian akhir memiliki efek yang sama dengan
menyebutkan kemungkinan dalam kualitas lebih rendah, lebih banyak tekanan,
lebih banyak soal ujian, dan sedikit kemungkinan mengubah nilai rata-rata.
Pengkondisian akan memungkinkan untuk menimbulkan ketidaksenangan khalayak
tanpa disertai keperluan untuk mengulang konsekuensi.
Persuasi meliputi
pengkondisian perasaan baru pada pendapat dan membolehkan yang tak diinginkan
sebelumnya dengan menghubungkan pada kelemahan. Tujuannya adalah untuk
memusnahkan hubungan antara pendapat dan hubungan sebelumnya. Sebagai contoh
seseorang mencoba seseorang untuk mengubah keyakinan kebijakan pada ujian
akhir, bahwa ada tiga konsekuensi yang timbul dari pendapat tersebut: lebih
sedikit tekanan pada akhir semester, lebih banyak waktu untuk melakukan
aktivitas lain, dan lebih sedikit begadang. Ini merupakan konsekuensi baru yang
penerima belum mempertimbangkan sebelumnya. Ide ini adalah sikap seseorang
dikontrol oleh keyakinan yang terkuat atau lebih penting (Fishbein dan Ajzen,
1975). Jika seseorang meyakini khalayak tentang tiga konsekuensi baik,
keyakinan baru akan menjadi seorang penerima akan lebih disadari, dan mereka
didorong keyakinan yang lebih awal untuk level kesadaran yang lebih rendah.
Jika penerima kurang menyadari keyakinannya, keyakinan tersebut memiliki efek
yang kurang pada kesadaran penerima.
Di samping menambahkan
keyakinan baru pada pemikiran penerima tentang sebuah pendapat, seseorang dapat
menambah kepercayaan pada keyakinan lama. Seorang penerima yang melawan
kebijakan baru ujian akhir akan memiliki keyakinan tentang konsekuensi baik
seperti lebih banyak waktu luang untuk mencari pekerjaan musim panas. Tetapi
keyakinan tersebut belum tentu seyakin keyakinan tentang konsekuensi buruk
seperti hasil rendah dalam ujian. Strategi dilakukan untuk membuat khalayak
lebih sadar akan keyakinannya, sekaligus mengurangi kesadaran pada keyakinan
negatif.
Kita perlu membuat
keyakinan baik lebih menjulang karena dua alasan. Pertama, pembicara dapat
menyajikan fakta-fakta dan berbagai alasan untuk mendemonstrasikan mengapa
konsekuensi baik akan terjadi jika pendapat itu diterapkan. Kedua, pembicara
dapat menunjukkan bagaimana pentingnya konsekuensi baik akan terjadi pada
penerima dan teman-temannya. Khalayak menjadi kurang sadar pada keyakinan
negatif karena pemikiran akan menjadi sadar hanya dengan banyak hal pada satu
waktu. Sesuai affective-cognitive consistency theory, pembicara
dapat menghindari menyebutkan keyakinan negatif karena mereka akan lebih
menonjol jika pembicara memikirkan tentang mereka. Sesuai dengan learning
theory, keyakinan paling atas akan menentukan sikap seseorang.
Model-model value-expectancy
theory
Ada beberapa model value-expectancy:
1. Value-expectancy model of attitudes I (Fishbein
dan Ajzen, 1976)
Berdasarkan model ini
seseorang memegang banyak keyakinan tentang sikap suatu objek, suatu objek
terlihat memiliki banyak sifat. Menghubungkan dengan setiap sikap adalah respon
yang evaluatif (contoh: sikap). Dengan proses pembelajaran, respon evaluatif
menghubungkan dengan sikap suatu objek.
2. Value-expectancy theory model of attitudes II (Fishbein dan Ajzen, 1976)
Ao =
(biei)
Keterangan:
Ao = attitude (sikap) terhadap objek
(O)
bi = belief (keyakinan) tentang sifat
objek
ei = evaluasi dari suatu sikap
Keyakinan adalah
kemungkinan subjektif dari seseorang (objek) tentang sifat orang lain (contoh:
Bill Clinton pembohong). Evaluasi adalah penilaian sifat berdasarkan berapa
dimensi evaluasi (contoh: baik/buruk diukur dari skala 1 sampai 7)
Value-expectancy theory model of
attitudes III (Fishbein dan Ajzen, 1976)
Sikap (attitude)
seseorang merupakan penjumlahan dari produk setiap keyakinan (belief)
dikali nilai evaluasinya (evaluation). Keyakinan dipegang dalam sebuah
jenjang (tingkatan). Suatu sikap ditentukan dalam setiap waktu yang diberikan
dengan lima sampai sembilan keyakinan yang paling menonjol dalam jenjang
keyakinan seseorang.
Tipe-tipe keyakinan:
P Descriptive
belief à berdasarkan
keyakinan langsung
P Inferential belief à keyakinan dari keyakinan lain
P Informational
belief à info dari sumber
luar
Pada akhir tahun 1970-an
dan awal 1980-an, Fishbein dan Ajzen mengembangkan value-expectancy
theory menjadi theory of reasoned action. Kemudian Ajzen
menjelaskan theory of planned behavior dalam bukunya Attitudes,
Personality, and Behavior (1988). Kedua teori tersebut menunjukkan
prediksi dan memiliki kelemahan. Value-expectancy theorymasih
merupakan teori terkemuka di berbagai bidang seperti penelitian komunikasi
kesehatan, pemasaran, dan ekonomi. Walaupun tidak digunakan sebanyak pada awal
1980-an, value-expectancy theory masih digunakan dalam
berbagai bidang penelitian, seperti periklanan, (Shoham, Rose, & Kahle
1998; Smith & Vogt, 1995), perkembangan anak-anak (Watkinson, Dwyer, &
Nielsen, 2005), pendidikan (Eklof, 2006; Ping, McBride, & Breune, 2006),
komunikasi kesehatan (Purvis Cooper, Burgoon, & Roter, 2001; Ludman &
Curry, 1999), dan komunikasi organisasi (Westaby, 2002).
Bagan theory of reasoned action dan theory
of planned behavior dalam kerangka value-expectancy theory:
Sejak pertama kali dikemukakan pada awal tahun
1970-an, value-expectancy theory telah mengalami berbagai
perkembangan. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menguji keabsahan teori
ini. Teori ini dikemukakan oleh beberapa psikolog terkemuka seperti Martin
Fishbein, Icek Ajzen, dan Philip Palmgreen. Maka tak heran jika latar belakang
teori ini adalah psikologi, memprediksi sikap manusia terhadap objek dan
tindakan.
Teori ini sangat penting
untuk mengetahui expectancy (harapan), values (nilai-nilai),beliefs (keyakinan), attitude (sikap),
dan juga gratification sought (pencarian kepuasan). Dalam ilmu
komunikasi teori ini sangat bermanfaat khususnya dalam mengetahui sikap
seseorang dan nilai-nilai yang dianut. Teori ini telah digunakan untuk
mendukung berbagai teori lain dan masih digunakan saat ini dalam berbagai
bidang pembelajaran.
Teori ini masih memiliki kekurangan
dan membutuhkan berbagai pnelitian untuk menguji teori ini. Teori ini
menggunakan ilmu psikologi sehingga tingkat subjektivitas masih bisa ditemui.
Walaupun demikian teori ini memiliki banyak kekuatan dan bisa mendukung teori
lainnya. Terbukti value-expectancy theory masih terus
digunakan hingga saat ini.
0 Comments